Selasa, 19 April 2011

INTERNASIONALISASI MODAL DAN INVESTASI

PENGANTAR


Kondisi riil saat ini menunjukkan bahwa mayoritas negara – negara yaitu 140 negara didunia, yang di huni oleh hamper tiga per empat penduduk dunia atau sekitar 4,2 miliar jiwa itu seperti tidak tampak dalam peta ekonomi ketika menyangkut investasi langsung luar negeri. Dalam hal ini sangat jelas bahwa negara – negara berkemabang termanjinalisasi sepanjang menyangkut perdagangan dunia. Jalan satu – satunya yang masih memperlihatkan tentang keberadaan negara – negara berkembang itu “terintegrasi” dalam system ekonomi kapitalis global hanyalah melalui laporan pembayaran cicilan hutang luar negeri yang sebesar US$ 40 miliar setahun. Angka tersebut adalah jumlah dari cicilan pembayaran hutang pokok dan bunga hutang kepada bank – bank dan negara yang menjadi anggota Triad Liberalis-Kapitalis.

Pembayaran cicilan hutang pokok beserta bunganya itu jelas sangat membebani pemerintah dan rakyat di negara – negara miskin dan berkembang, karena menguras sebagian besar dana yang semestinya digunakan untuk mendukung pembangunan ekonomi dan social. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Indonesia di mana dana yang diperlukan setiap tahun untuk membayar cicilan hutan luar negeri telah menguras sekitar 40% dari PDB.

Memang jika dibandingkan dengan besaran seluruh hutang negera – negara dunia, keseluruhan hutan ang terjadi di negara – negara berkembang dan miskin masih kategori marjinal.Sebagai sebuah referensi, pada tahun 1990 keseluruhan jumlah hutangyang dimiliki pemerintah lokal dan pusat, bisnis rumah tangga dan non financial di seluruh Amerika Serikat tercata sebesar US$ 10,6 triliun. Jumlah ini hampir mencapai 10 kali lipat dari seluruh total hutang negera – negara dunia ketiga.

Dengan demikian bagi sebagian besar negara dan penduduk bumi ini, posisi mereka dalam pasar global digambarkan seperti provinsi – provinsi terbelakang atau kantong – kantong wilayah prasejahtera pada masa kejayaan imperium Romawi. Kawasan – kawasan ini mengalami epos kemunduran dan kehancuran sarana produksi dikarenakan adanya perbudakan, dirampok dan dimiskinkan dengan tujuan untuk memperkaya kaum yang berkuas dan kaya yang tinggal di pusat negara.

Dewasa ini ekonomi kapitalis dunia terstruktur menjadi tiga blok ekonomi perdagangan dan investasi yang terpusat dinegara – negara liberal-kapitalis yaitu Erapa barat (Uni-Eropa), Amerika Utara dan Jepang. Kekuasaan mayoritas perusahaan – perusahaan transnasional “masih hanya” beroperasi disejumlah kecil negara secara prinsip di negara – negara “induk” mereka dan dinegara – negara “berupah tinggi” lainnya di antaranya di Triad Liberal Kapitalis.

KECENDERUNGAN INVESTASI

Sekali lagi, sebagian besar negara didunia yang di huni hampir tiga per empat penduduk bumi tidak hanya dihapus dalam peta dunia ketika menyangkut investasi langsung luar negeri.Selain itu meraja juga termarjinalisasi secara lengkap di sepanjang alur lalu lintas perdagangan dunia. Jalan utama yang menempatkan mereka untuk “terintegrasi” kedalam ekonomi kapitalis global adalah melalui laporan pembayaran gutang sebesar US$ 40 miliar sebagaiana yang telah diungkapkan di atas.

Bertentangan dengan tesis dari para penganjur globalisasi penyokong Neo-Liberalis, ternyata perusahaan – perusahaan trans nasional kurang tertarik dan tidak begitu saja mengarahkan investasinya ke kawasan yang mempunyai upah buruh paling murah. Contohnya tentang tidak adanya kecnderungan perusahaan – perusahaan transnasional yang berbasis di Jerman (dinegara ini rata – rata tingkat upah $25 per jam) ke cabang – cabang industry di India yang tidak ada serikat buruhnya dan hanya mempunyao tingkat upah rendah rata – rata 40 sen perjam.

Faktanya investasi asing langsung dari perusahaan – perusahaan transnasional sector manufaktur seara berkelanjutan tetap diarahkan ke cabang – cabang industry dengan tingkat pembelajaan modal tinggi dan tenaga kerja  sedikit tetapi terlatih. Walaupau biaya produksi dan tingkat upahnya lebih tinggi (seperti pada industry kimia, otomotif, dan elektronik), perusahaan – perusahaan transnasional tetap menjauh dai cabang – cabang industry yang berketarampilan rendah, upah murah dan padat karya, seperti perusahaan tekstil, pakaian dan sepatu.

Hal ini yang selama ini digembar – gemborkan oleh para ekonom, sosiolog, para guru manajemen, wartawan, politisi adalah bahwa saat ini kita hidup dalam era sejarah baru, dimana ekonomi  nasional, budaya nasional dan batas – batas kenegaraan sudah luntul dan mengalami apa yang diistilahkan dengan bordeles world, yaitu terjadi karena proses globalisasi yang cepat dan baru.

Inti wacana mutakhir ini adalah satu klaim yang menyatakan bahwa “ekonomi yang benar – benar global” telah muncul atau sedang munvul yang kemudian menjadikan kebijakan ekonomi nasional dan negera menjadi tidak relevan lagi. Ekonomi dunia sekarang ini di dominasi oleh perusahaan – perusaahan yang telah menginternasionalisasikan aktifitasnya untuk orientasi perluasan, membawa produksi dan penjualan kebanyak negara, dan mereka (perusahaan – perusahaan tersebut) tidak mempunyai kesetiaan terhadap suatu negara – bangsa secara khusus serta menempatkan investasi dan operasinya dimanapun pasar global, asalkan mereka bisa mendapatkan penghasilan tinggi.

Modal besar dewasa ini berdiri dengan seolah tanpa kaki dan sangat mobile. Ketika ada usaha yang dilakukan pemerintah atau gerakan buruh di suatu negara yang berkeinginan untuk  menerapkan kebijakan yang akan menyebabkan peningkatan biaya produksi, maka mereka melarikan modalnya dari negara tersebut dan merelokasi atau memindahkan operasinya ke tempat lain yang mempunyai biaya lebih murah.

Dalam kaitannya dengan gerakan serikat buruh, argument – argument tersebut juga menjadi laku, sehingga melahirkan pejabat – pejabat serikat buruh yang merasionalisasikan pentingnya kaum buruh untuk menerima upah rendah dengan kondisi kerja seadanya serta tanpa tambahan tunjangan social lain dalam rangka mendapatkan pekerjaan. Tidak masalah mendapat upah rendah asal lapangan pekerjaan tersedia. Konsep globalisasi investasi  dan flow of capital  juga telah mempengaruhi sebagian penganur aliran New Left, yang ikut meyakini bahwa modal besar sekarang begitu luwes (mobile) dan kuat, sementara negara – negara nasional begitu lemah. Sehingga tidak penting lagi bagi kelas pekerja untuk merebut kekuasaan negara.

PERUSAHAAN TRANS NASIONAL

Dewasa ini tercatat ada sekitar 53.000 Induk perusahaan transnasional yang memiliki lebih dari 170.000 cabang di luar negeri.Dari keseluruhannya 90 % dari perusahaan tersebut berkantor pusat di negara – negara maju. Penjualan dan asset perusahaan – perusahaan trans nasional yang maha besar jumlahnya itu terkonsentrasi di negara atau kawasan yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Kenyataan ini kemudian sangat jauh berbeda dengan semua spekulasi mengenai berlangsungnya “globalisasi investasi” yang tersebar di seluruh pelok dunia.

Konsentrasi Pemasan dan Penjualan

Kawasan atau negeri sendiri selalu mendapat prioritas utama dari upaya pemasaran dan penjualan yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan trans nasional negara – negara maju. Sebagai contoh, perusahaan – perusahaan trans nasional sector manufaktur dengan kantor pusat  di Amerika Serikat mengalokasikan 67 % dari penjualan dan 73 % dari asetnya dengan tetap  beredar  dinegara tersebut dan sisa penjualan dan asset merka itu sebagian besar di temaptkan di eropa dan kanada, dengan begitu persentase yang ditujukan untuk kawasan seperti  Asia dan Afrika sangatlah kecil. Untuk perusahaan – perusahaan transnasional di Amerika Serikat yang bergerak di bidang jasa, data menunjukkan bahwa 93% penjualan dan 81% asset mereka berada di dalam negeri (Amerika Serikat).

Sementara itu pada perusahaan – perusahaan trans nasional di kawasan eropa barat, telah terjadi penyebaran penjualan dan asset sedikit lebih luas, namun begitu diantara 70-70% diantaranya tetap berada dinegara induk atau disesama negara eropa barat lainnya. Untuk perusahaan trans nasional yang bergerak dalam manufaktur yang berpusat di Jepang, 75% dari penjualan ada di Jepang sendiri begitu juga 90% asetnya.

Konsentrasi Aset

Antara tahun 1987 hingga tahun 1993, telah terjadi perkembangan yang semakin meningkat dari konsentrasi asset  perusahaan trans nasional ke negara induk masing – masing. Dengan demikian itdak tampak gerakan globalisasi yang selama ini telah digembar – gemborkan. Sebagai contoh kasus, perusahaan – perusaahan yang berpusat di Inggris pada tahun 1987 memiliki 52% asset di negara tersebut namun enam tahun kemudian pada tahun 1993, asset perusahaan yang berkonsentrasi di Inggirs bergerak meningkat menjadi 62 %, hal ini juga sama terjadi di Jepang dan Amerika Serikat.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa apa yang selama ini disebut sebagai penyebaran asset dan investasi yang merata dalam rangka globalisasi perdagangan dan investasi  tidak terbukti pada kerangka prakteknya. Pada kenyataannya, perusahaan – perusahaan trans nasional tersebut telah memusatkan produksi, pemasaran dan penjualan komoditas mereka dinegara induk. Jika ada upaya untuk menginternasionalisasikan, hal itu pun dilakukan dan dikonsentrasikan pada sesame negara kapitalis maju lainnya bukan ke negara – negara berkembang yang sedang membutuhkan investasi. Kenyataan ini mencerminkan adanya investasi asing langsung dan volume perdagangan skala global yang berlangsung sangat tidak merata.

DISTRIBUSI INVESTASI DAN PERDAGANGAN GLOBAL

Dalam tahun 90 an keseluruhan modal investasi asing langsung di seluruh dunia bernilai US$ 2 triliun. Perusahaan  - perusahaan trans nasional yang mengontrol modal asing melakukan penjualan sebesar US$ 5,5 triliun di seluruh dunia. Tercatat 100 perusahaan transnasional terbesar di dunia memiliki sepertiga dari keseluruhan modal, dengan 60 % dari investasi langsung yang dilakukan oleh perusahan – perusahaan transnasional yang berhubungan dengan sector manufaktur. 37% sector jasa, dan hanya 3 % dengan output produk – produk primer, seperti bahan mentah dari pertambangan dan pertanian.

Distribusi modal investasi langsung (FDI) secara geografis sungguh – sungguh tidak merata, diman  75% diantaranya ditempatkan dikawasan kapitalis maju seprti Amerika, Eropa dan Jepang, yang hanya memiliki penduduk sebesar 14% dari populasi penduduk dunia. Sementara sisa dari investasi asing berlangsung yang hanya 25 % itu kemudian di bagi – bagi keberbagai kawasan secara tidak merata. Sekita 66% dari jumlah sisa investasi asing langsung  di tempatkan di 10 negara “sedang Berkembang” utama seperti Argentina, Brazil, China, Hingkong, Malaysia, Meksiko, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dan Singapura.

Sembilan negara disebut itu memiliki 29% populasi penduduk dunia.Namun , China mempunyai 18% dari populasi dunia, berarti bahwa investasi asing hanya menjangkau 11 % penduduk dunia. Begitu sangat jelasnya ketidak merataan riil dalam hal distribusi investasi langsung luar negeri secara global.

Selain itu ada juga ketidk merataan secara geografis dalam hal arus investasi di luar negeroi, dimana 60% dari investasi internasional mengalir dianta sesame “trio” kapitalis (Amerika, erop dan Jepang  dengan sisa yang 40% di bagi.Konsentrasi secara geografis dalam hal akumulasi modal dan aliran investasi langsung luar negeri dapat diparalelkan dengan ketidakmerataan secara geografis dari pola perdagangan global.

DIVERGENSI BUKAN KONVERGENSI

Dalam laporan Pembangunan Dunia atau World Development Report tahun 2005, Bank Dunia memperingatkan “ adalah bodoh jika memprediksikan bahwa perbedaan negara – negara kaya dan miskin akan secara tepat hilang melalui konvergensi, atau dengan meningkatkan standar upah dan kondisi hidup di negara – negara miskin menjadi sama dengan negara maju atau sebaliknya”.
  
Konvergensi yang mendogma teori, tidak menguntungkan untuk digunakan di negara – negara berkembang dan juga dibendi oleh kubu populis negara – negara maju. “Selain itu divergensi, bukan konvergensi, telah menjadi aturan baku…” Lebih jauh lagi di laporkan bahwa rata – rata pendapatan perkapita di negara – negara kaya adalah 11 kali pendapatan per kapita di negara – negara  miskin dalam tahun 1870 dan kemudian meningkat menjadi 58 kali pada tahun 1985 dan terus meningkat hingga saat ini.

Diantara jumlah tenaga kerja global sebesar 2,5 miliar orang, 59% nya kini bermukim di tempat yang oleh Bank Dunia di golongkan sebagai negara – negara dengan upah rendah, sedangkan 27 % dinegara – negarah dengan upah menengah dan hanya 15% yang tinggal di negara – negara dengan upah mahal. Namun dengan pola investasi dan perdagangan global seperti diungkapkan data di atas, yang paling banyak menikmati ketersediaan lapangan pekerjaan adalah kawasan dengan upah yang mahal dn menengah.

Walaupun kenyataan data menunjukkan kecenderungan yang berbeda, ironisnya laporan Bank Dunia tersebut teap mengemukakan ida bahwa pasar bebas global yang “terintegrasi” di yakini pasti akan menghasilkan konvergensi atau perbaikan nasib bagi para buruh di seluruh dunia.

Laporan yang sama, ternyata secara factual menyatakan: “Ketidakseimbangan antara laki – laki dan perempuan, antara sekelompok – kelompok etnik dan antara wilayah geografis yang secara khusus bersifat kekerabatan….wilayah miskin, semacam negara bagian Chiapas di Meksiko, atau akan selalu teap miskin secara relative meskipun ekonomi seluruh dunia meningkat”.

INTERNASIONALISASI MODAL DAN INVESTASI

Tidak diragukan lagi ada tendensi yang kuat kearah internasionalisasi modal pada decade terakhir ini. Dengan munculnya  perusahaan – perusahaan transnasional dewasa ini sebagai bentuk dominan dari organisasi modal besar dibawah kapitalis monopolis mutahir adalah sebagai buktinya . tetapi untuk memahami dinamika riil dari tendesi ini adalah penting sekali untuk tidak mengacaukan antara internasionalisasi produksi dan  penjualan komoditi (yaitu produksi dan penjualan direalisasikan secara internasional serta bertujuan untuk mencapai nilai lebih) dengan internasionalisasi kekuasaan mengendalikan modal (sentralisasi secara internasional terhadap modal).

Internasionalisasi surpul value yang tercermin dalam perluasan ekspor penjualan komoditas merupakan pola dan kecenderungan yang sifatnya inheren (melekat) pada kapitalis. Tetapi ia telah berkembang dengan sangat berbeda dalam sejarah corak produksi seusai perang dunia II, yaitu dengan mulai mengembangkan produksi manufaktur dan perakitan di luar negeri.

Sejak tahun 1960, perluasan penanaman modal dan upaya untuk melakukan produksi diluar negeri telah mulai menjadi kecenderungan bagi para pemodal besar dari negara – negara kapitalis maju. Untuk pertama kali pula secara actual dan cepat menghasilkan banyak framework dan regulasi internasional guna mengatur persaingan modal dalam rangka penanaman modal di luar negeri.

Walau demikian, pembelanjaan dan internasionalisasi modal adalah tidak selalu selaras dengan internasionalisasi kepemilikan modal, yakni fusi atau penggabungan modal – modal dari berbagai bangsa menjadi perusahaan – perusahaan multi nasional. Oleh karena itu kini masih lebih banyak jumlah perusahaan trans nasional di banding perusahaan multi nasional.

BAHAN BACAAN

·         Doug Lorimer. “Globalisasi.”Neo-Liberalisme dan dorongan – dorongan Kemunduran ekonomi Kapitalis, Jurnal Kiri, Situs Indo-Marxist
·         Jhamtani, Hira, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, Yogyakarta, Insist Pers
·         May Rudy, Teuku , Masalah Negara Berkembang, Bandung Bina Budhaya
·         www.wto.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar