OLEH : S U R I A N I
PENGANTAR
Seperti diketahui bersama bahwa sampai saat ini persepsi masyarakat khususnya dunia usaha mengenai pajak masih negatif. Pajak masih menjadi momok bagi banyak orang. Hal ini dipicu oleh trauma masa lalu, yaitu pada zaman penjajahan di mana masyarakat umum beranggapan bahwa pembayar pajak hanya dijadikan sapi perahan oleh penguasa. Sebaliknya, mereka tidak menyadari bahwa kontribusi pembayaran pajak yang dihimpun oleh pemerintah adalah untuk kepentingan bersama melalui pelayanan umum seperti membiayai pendidikan, memperbaiki fasilitas kesehatan, fasilitas keamanan, dan banyak lagi hal lainnya yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat (Judisseno, 1997). Di samping itu, dilihat dari pandangan kebanyakan orang yang menilai pajak dari sisi aparatnya adalah sebagai hantu yang ditakuti, bahkan orang cenderung enggan untuk berurusan dengan mereka.
Di sisi lain fiskus terjerat dalam melakukan berbagai upaya demi pemasukan pajak yang lebih besar terkadang menciptakan kesan terlalu mengada-ada dan tidak mengindahkan peraturan yang ada. Di samping itu, produk peraturan di bawah undang-undang beberapa kali dibuat/diubah yang kesannya hanya untuk kepentingan sepihak.
Akibat langsung yang dirasakan oleh masyarakat khususnya dunia usaha sebagai Wajib Pajak dari kondisi tersebut di atas adalah terjeratnya mereka dalam kebingungan yang tiada henti. Wajib Pajak harus mengalokasikan dana yang tidak sedikit untuk membayar utang pajaknya (Judisseno, 1997). Secara tidak langsung keadaan ini berakibat pada membengkaknya biaya perusahaan, yang pada akhirnya membuat perusahaan kalah bersaing, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa perusahaan terancam kelangsungan hidupnya.
Riset Transparasi Internasional Indonesia terhadap 900 pengusaha menyimpulkan bahwa kebocoran pajak sampai 60%. Angka kebocoran ini tentu besar, tetapi kebocoran ini tidak hanya monopoli aparat Direktorat Jenderal Pajak yang tidak terpuji. Kebocoran ini juga disebabkan oleh adanya faktor ketidak- jujuran Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban perpajakannya. Selain itu, memang ada hal lain di luar kekuasaan Direktorat Jenderal Pajak, yaitu trust kepada pemerintah tentang pajak itu sendiri secara menyeluruh. Artinya apakah pajak yang telah disetorkan sudah sampai ke kas negara dan optimalkah pemanfaatannya dalam pembangunan untuk kepentingan umum.
Di sisi lain fiskus tidak percaya apakah Wajib Pajak telah dengan jujur menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya. Jadi, di sini terjadi distrust, yaitu rasa saling tidak percaya antara Wajib Pajak sebagai pembayar pajak dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi pajak. Di samping itu, muncul dugaan adanya indikasi KKN antara aparat pajak dengan Wajib Pajak.
Hal ini tentu ironis akibat sikap yang muncul dari segelintir aparat pemerintah/pajak termasuk Wajib Pajak yang tidak terpuji. Kesan ini jelas akan menyulitkan pihak fiskus dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini merupakan kondisi yang sulit karena di satu sisi aparat pajak dihujat habis-habisan dan di sisi lain pemerintah terus meminta agar penerimaan pajak meningkat. Kondisi inilah yang menimbulkan gagasan perlunya reformasi perpajakan. Gagasan ini telah digulirkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun 1983 untuk mengantisipasi serangkaian perubahan dinamis masyarakat secara keseluruhan, termasuk dunia usaha yang berimplikasi betapa pentingnya seperangkat aturan perpajakan yang mengikat warga negara untuk mematuhinya (Cahjono, 2000). Selanjutnya, sejak lima tahun yang lalu telah dilakukan modernisasi sistem perpajakan seiring dengan perkembangan masyarakat, khususnya dunia usaha yang makin modern.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa ada dua pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda, yaitu fiskus dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat sebagai Wajib Pajak. Fiskus/Direktorat Jenderal Pajak berusaha untuk memaksimalkan penerimaan pajak yang dapat ditarik dari masyarakat berdasarkan kewenangannya sesuai dengan peraturan yang berlaku (Darussalam dkk., 2006) dengan menggulirkan kebijakan perpajakan dengan nama ”Modernisasi Sistem Perpajakan”. Sebaliknya, Wajib Pajak sebagai masyarakat/dunia usaha berusaha untuk mengoptimalkan kewajiban pajaknya sesuai dengan sifat manusiawi manusia atau prinsip ekonomi dari suatu usaha. Jadi, permasalahan yang dihadapi dalam rangka modernisasi sistem perpajakan yang melibatkan jajaran Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat/dunia usaha sebagai wajib pajak adalah bagaimana menciptakan pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha atas pelaksanaan sistem perpajakan yang digagas oleh Direktorat Jenderal Pajak saat ini.
TIMBULNYA PUNGUTAN PAJAK
Dalam hidup bermasyarakat manusia tidak pernah lepas dari interaksi antara satu dengan yang lainnya dan termasuk dengan lingkungannya. Interaksi ini biasanya melahirkan suatu norma yang disepakati dan dipatuhi secara bersama untuk mengatur dan menjamin keharmonisan hidupnya. Dengan kata lain, manusia dalam bersosialisasi di lingkungannya tidak boleh melakukan perbuatan semaunya sendiri, tetapi harus menjunjung tinggi nilai dan kepentingan bersama agar harmonisasi hidup dapat terealisasi. Jadi, pada hakikatnya dalam kehidupan manusia selalu terikat pada aturan-aturan yang membatasi ruang gerak langkahnya demi suatu kebutuhan dan kepentingan bersama, seperti kebutuhan akan rumah peribadatan, keamanan, sekolah, kebersihan lingkungan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.
Aturan-aturan tersebut biasanya tertuang dalam norma hukum yang mengatur falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Norma hukum ini di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama tersebut negara tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Sehubungan dengan itu, peran serta aktif masyarakat sebagai warga negara sangat dibutuhkan untuk memberikan iuran kepada negaranya dalam bentuk pajak sehingga segala keperluan pembangnan dapat dibiayai. Jadi, timbulnya pungutan pajak merupakan suatu hal yang logis dalam hidup bermasyarakat dan bernegara (Judisseno, 1997).
Hal ini tertuang dalam pasal 23, ayat 2, Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi ”Pengenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang”. Lebih lanjut dijelaskan ...... oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan Undang- Undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
ARTI PENTING PAJAK BAGI NEGARA DAN MASYARAKAT
Dari sudut pandang ekonomi, pajak adalah salah satu primadona penerimaan negara yang paling potensial. Bahkan, saat ini sektor pajak memberikan kontribusi yang terbesar dalam APBN. Penerimaan dari sektor pajak ini merupakan penerimaan dalam negeri dan penerimaan sektor lainnya selanjutnya digunakan oleh negara untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana kepentingan umum bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya pajak bagi negara karena pajak merupakan sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran negara/pemerintah yang disebut sebagai fungsi budgeteir (Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2003).
Seperti diuraikan di atas bahwa pajak merupakan kontribusi masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam membangun negaranya, yaitu membangun sarana dan prasarana kepentingan umum bagi masyarakat itu sendiri. Dengan kontribusi ini masyarakat berhak untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah (Judisseno,1997). Di pihak lain, tidak boleh dilupakan bahwa pajak memang merupakan bentuk tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah letak pentingnya pajak bagi masyarakat sebagai Wajib Pajak.
PENGARUH YANG KONDUSIF TERHADAP DUNIA USAHA
Untuk menciptakan pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha, perlu diterapkan strategi tertentu dalam sistem perpajakan. Strategi yang dimaksud di sini adalah suatu kumpulan perilaku dan seperangkat tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran dengan cara-cara yang sistematis, efektif, dan efisien. Sasaran itu sendiri memberikan pengertian tentang sesuatu yang dituju atau sesuatu yang hendak dicapai (Judisseno, 1997). Pencapaian sasaran perpajakan harus memperhatikan sisi fiskus sebagai pelaksana pemungutan pajak dan sisi Wajib Pajak selaku pembayar pajak.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa tujuan suatu negara memungut pajak adalah agar negara memiliki kemampuan untuk membiayai berbagai keperluannya, baik keperluan negara maupun keperluan masyarakatnya yang diwujudkan dalam pembangunan nasional. Negara dalam pelaksanaan pemungutan pajak masih banyak menghadapi permasalahan yang perlu diatasi.
Permasalahan yang terbesar yang dihadapi saat ini di sektor perpajakan adalah distrust, yaitu adanya saling ketidakpercayaan atau tidak harmonisnya jalinan hubungan antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus sebagai pemungut pajak. Jika hal ini tidak segera diatasi, tentu akan mempunyai pengaruh yang tidak kondusif terhadap dunia usaha. Secara normatif dapat dikatakan bahwa sebaik apa pun sistem perpajakan yang digulirkan oleh pemerintah/fiskus akan mubazir jika tanpa diiringi oleh jalinan hubungan yang harmonis antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus sebagai pemungut pajak karena Wajib Pajak dan fiskus berada dalam satu sistem.
Untuk mengatasi masalah ini perlu diambil langkah-langkah yang positif untuk menyusun suatu strategi yang dapat menciptakan harmonisasi antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus sebagai pemungut pajak, yang nantinya akan dapat memberi pengaruh yang kondusif terhadap perkembangan dunia usaha. Adapun langkah-langkah yang harus diambil sebagai suatu strategi yang dapat menciptakan harmonisasi antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus sebagai pemungut pajak, yang pada gilirannya dapat memberi pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha, antara lain sebagai berikut.
1. Fiskus mesti menawarkan sesuatu yang terbaik untuk Wajib pajak.
Tawarkanlah kepada masyarakat suatu representasi dan manfaat yang besar dari pajak dengan cara memberikan keterbukaan laporan mengenai kontribusi pajak terhadap pembangunan sehingga masyarakat merasa terlibat secara langsung dalam pembangunan. Bukti nyata lainnya atas pemanfaatan pajak terhadap pembangunan nasional, seperti fasilitas umum dan sosial yang lebih baik dan merata, terbukanya kesempatan kerja, kesejahteraan yang meningkat secara nyata di berbagai sektor, dan lain- lainnya.
2. Berikan kepastian hukum.
Kepastian hukum mutlak diperlukan sebagai jaminan keadilan yang sifatnya dua arah, yaitu jaminan keadilan bagi masyarakat dan jaminan keadilan bagi negara.
3. Fiskus harus memberikan kemudahan untuk tumbuh kembangnya dunia usaha.
Dunia usaha perlu dibina dan diberikan kemudahan-kemudahan serta fasilitas yang memadai sehingga mereka mampu bertumbuh dan berkembang yang pada gilirannya akan mempunyai kemampuan untuk memperluas usahanya dan akhirnya memberi kemampuan untuk membayar pajak.
4. Lakukan komunikasi informasi dua arah secara berkesinambungan untuk saling melengkapi antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus sebagai pemungut pajak.
Peraturan dan perundang-undangan perpajakan selalu dinamis dalam rangka mengikuti laju perkembangan dunia usaha. Oleh karena itu, fiskus perlu mengkomunikasikan dan mensosialisasikan secara berkesinambungan tentang perubahan-perubahan peraturan tersebut. Begitu juga Wajib Pajak seyogianya secara aktif mencari informasi tentang aturan perpajakan yang diterapkan oleh fiskus.
5. Tegakkan hukum secara konsekuen dalam pelaksanaan pemungutan pajak.
Tumbuhkan rasa saling percaya antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus selaku pemungut pajak, yang selama ini masih terlihat dipermukaan. Untuk itu, hukum harus dijunjung tinggi dan harus ditegakkan secara konsekuen dan konsisten, baik oleh Wajib Pajak maupun oleh aparat pajak/fiskus di dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak.
6. Tumbuhkan kesadaran masyarakat akan kewajibannya sebagai warga negara bahwa pajak merupakan tanggung jawab bersama.
Masyarakat harus sadar akan keberadaannya sebagai warga negara yang senantiasa selalu menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum penyelenggaraan negara. Dengan demikian, mereka harus sadar akan kewajibannya membayar pajak tanpa rasa ada beban.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa sistem perpajakan yang diberlakukan akan mempunyai pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha jika hamonisasi jalinan hubungan antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus selaku pemungut pajak tercapai. Jadi, hamonisasi antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus selaku pemungut pajak akan dapat menciptakan pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha.
Saran yang dapat disampaikan dalam pembahasan ini adalah lakukan harmonisasi secara keseluruhan antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus selaku pemungut pajak untuk dapat mencapai keseimbangan dalam rangka pelaksanaaan sistem pemungutan pajak secara modern. Hal itu pada akhirnya akan dapat memberi pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha.
DAFTAR PUSTAKA:
· Cahjono, Achmad dan Muhammad Fakhri Husein. 2000. Perpajakan, Edisi
Kedua. Yogyakarta: Penerbit UPP AMP YKPN.
· Darussalam dan Danny Septriadi. 2006. Membatasi Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
· Rimsky K. 1997. Pajak dan Strategi Bisnis, Suatu Tinjauan tentang
Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
· Soewarno, Guntoro. 12 Desember 2005. “Mendirikan Bangsa dengan Reformasi
Pajak”. Media Indonesia. Suplemen Khusus.